Pharmaindo

Easy Read- Indonesia\’s Pharmaceutical Industry

Dokter berdagang obat, bukan hanya menyembuhkan

23/07/2006 19:22 Tidak hanya menyembuhkan pasien, di balik ruang praktiknya para dokter sibuk dengan urusan jual beli obat. Selain membuat harga menjadi mahal, obat yang tak perlu juga ikut masuk kertas resep.

230706csigi.jpg

Liputan6.com, Jakarta: Tak ada yang ingin jatuh sakit. Menurunnya kesehatan membuat hidup menjadi tak nyaman. Namun di Indonesia bukan hanya hidup yang tak nyaman, sakit juga berarti seseorang harus merogoh kocek dalam-dalam. Nanti dulu bicara soal perawatan di rumah sakit. Untuk sekadar menebus resep obat kita sudah dibuat mengurut dada. Mahalnya harga obat-obat sudah melampaui batas kemampuan ekonomi masyarakat banyak.

Mahalnya harga obat di Indonesia bukan cerita baru. Hal ini sudah menjadi keluhan sejak lama. Kebijakan pemerintah untuk mengedarkan obat generik yang diklaim lebih murah dari obat paten malah berbalik. Di lapangan pasien ternyata mendapatkan fakta bahwa harga obat generik yang diresepkan dokter lebih mahal ketimbang obat paten [baca: Pengawasan Kurang, Harga Obat Mahal].

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Kesehatan serta Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga mengakui harga obat di Indonesia mahal bukan kepalang. Disinyalir harganya ada yang mencapai 200 kali lipat dari harga di pasaran internasional. Yang mengagetkan, salah satu penyebabnya tak lain tingginya biaya promosi dari produsen obat untuk dokter, rumah sakit serta apotek.

Tidak usah mencari pembenaran jauh-jauh, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Anthony Ch. Sunarjo tidak menampik sinyalemen tersebut. Menurutnya, cara-cara perusahaan farmasi dalam memasarkan produknya sudah sangat berlebihan. “Misalnya dalam mensponsori acara ilmiah kedokteran, kan tidak harus di hotel berbintang,” ujarnya.

Pangkal masalah mahalnya harga obat mudah ditelusuri. Saat ini ada lebih dari 200 produsen obat besar dan kecil di Indonesia, sementara konsumsi tidak seberapa, bahkan kalah jauh dibandingkan Kuwait yang memiliki penduduk cuma tiga juta jiwa.

Hal ini kemudian menciptakan persaingan tidak sehat di antara perusahaan farmasi yang ada. Mereka berlomba-lomba merayu dan melobi dokter, rumah sakit serta apotek, agar obat mereka menjadi acuan utama dalam pemberian obat kepada pasien. Jika berbagai kiat melariskan produk itu masih dalam koridor etika kedokteran yang ada, tentu bisa menerima. Namun yang terjadi sebaliknya.

Sejumlah sales obat yang kerap berhubungan dengan dokter atau rumah sakit menyebutkan bahwa memberikan bonus atau hadiah kepada dokter sesuatu yang wajar bagi mereka. Jangan pula kaget kalau servis yang diberikan kini semakin dahsyat. Mulai dari tawaran potongan harga besar-besaran, hadiah mobil, komisi bulanan, berlibur ke luar negeri hingga menyuguhkan wanita penghibur.

Denny Wahyudi, seorang manajer sebuah produsen obat menilai semua kiat itu bisa diterima dari sisi bisnis, meski dari sudut pandang etika tidak benar karena sangat merugikan konsumen obat. “Tapi bagaimana lagi, orientasi dokter sekarang memang bisnis. Jarang sekali kita melihat dokter yang idealis dalam menjalankan misi mereka,” paparnya.

Meski enggan memberikan keterangan secara langsung, para dokter yang ditemui Tim SIGI mengakui adanya pemberian hadiah atau komisi dari produsen obat melalui sales sebagai perpanjangan tangan. Dokter Syaffra Birwen misalnya, mengaku pernah didatangi salesman obat yang meminta dirinya meresepkan produk obat mereka kepada pasien. Bahkan, dia tahu betul kalau praktik tersebut sudah berlangsung sejak dia belum menjadi dokter. “Perjanjiannya hanya tahu sama tahu, tidak mungkin tertulis, si dokter bakal terjerat jika melakukan itu,” ujarnya.

Lebih gamblang lagi, seorang manajer sebuah produsen obat sebut saja namanya Hendrik, menjelaskan lebih rinci praktik yang dijalankan perusahaannya. Menurut Hendrik, persaingan di antara sesama perusahaan farmasi yang sudah melampaui batas membuat cara-cara promosi tidak lagi sesuai dengan etika. Misalnya dalam hal pemberian hadiah kepada seorang dokter, harus sesuai dengan kebutuhan profesi. Seperti memberi stetoskop masih dibolehkan. Kalau pendingin ruangan atau mobil itu jelas-jelas dilarang.

Kendati demikian kini kesepakatan antara seorang dokter dan sales obat sudah langsung mengarah ke jumlah angka nominal uang yang diinginkan. “Angka itu bisa jadi kita yang menawarkan atau permintaan dari dokternya,” jelas Hendrik.

Biasanya kata Hendrik, produsen obat akan berusaha mencari informasi tentang harga obat yang ditawarkan oleh kompetitor kepada seorang dokter. Jika harga sudah diketahui, akan dicari pula informasi tentang servis yang diberikan kompetitor kepada si dokter. “Kemudian kita akan memberikan harga yang lebih bersaing dengan servis yang juga lebih agar dokter bersangkutan memilih produk kita,” cerita Hendrik.

Dengan cara-cara seperti itu tidak aneh kalau uang yang digelontorkan perusahaan farmasi untuk keperluan promosi membuat kita ‘kagum’. Menurut penelitian Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), biaya promosi serta servis bagi dokter dalam setahun ditaksir lebih dari Rp 500 miliar.

Ketua YPKKI dokter Marius Widjajarta menambahkan, bukan hanya dokter, sebagian besar rumah sakit juga ikut-ikutan melakukan praktik tercela tersebut. Bahkan ada perusahaan obat yang memberikan bantuan miliaran rupiah untuk menambah fasilitas serta membangun gedung rumah sakit. “Kalau itu sampai terjadi maka celakalah pasien kita,” ungkap Marius dengan nada prihatin.

Adanya perselingkuhan di antara produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba. Misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. “Ada obat yang tidak perlu diberikan tapi tetap ditulis dalam resep,” ujar mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohammad. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama.

Dengan perselingkuhan di belakang layar antara dokter, rumah sakit atau apotek dengan perusahaan farmasi, yang menjadi korban tak lain para pasien. Kartu keluarga miskin (gakin) tidak lagi jaminan bahwa seorang pasien akan terbebas dari biaya berobat.

Di Rumah Sakit dokter Sardjito Yogyakarta misalnya, Tim SIGI menemukan seorang pasien pemegang kartu gakin bernama Ngalimun mengaku masih diharuskan membayar sejumlah biaya. “Saya tetap diminta membayar pembelian infus,” ujarnya.

Namun keterangan berbeda diberikan pejabat di bagian hubungan masyarakat rumah sakit ini Trisno Heru Nugroho. Menurutnya pihak rumah sakit telah membebaskan semua pasien gakin dari segala biaya. “Asal mereka mengikuti semua persyaratan pelayanan bagi pemegang kartu gakin,” jelasnya. Lantas, bagaimana dengan Ngalimun?

Ketua Umum IDI Farid Anfasa Moeloek tidak menolak adanya kolusi antara dokter atau organisasi profesi dengan produsen obat. Di satu sisi dia menyadari bahwa produsen obat memerlukan biaya dalam produksi serta pemasarannya. “Tapi mengambil keuntungan jangan terlalu berlebihan, yang penting itu kelayakan,” jelasnya.

Farid sendiri punya ide untuk menghilangkan gejala tak baik tersebut. Caranya adalah dengan menciptakan sebuah sistem pembayaran kesehatan di depan bagi para dokter dan paramedis. “Dengan sistem prabayar dalam bentuk asuransi, orientasinya bukan lagi sakit, tapi sehat,” papar Farid.

Namun Kartono melihat masalah utama selama ini adalah kurang tegasnya IDI terhadap anggota. Apalagi mereka yang bertugas menindak juga turut serta dalam lingkaran bisnis jual-beli obat di belakang layar tersebut. “Jadi wajar saja penindakan menjadi lemah,” jelasnya.

Kalau begitu, ada baiknya penertiban dilakukan terlebih dahulu dari kalangan dokter. Pasalnya jika seorang dokter berani berkata “tidak” pada produsen obat, hal ini tak akan terjadi. Begitu juga jika seorang dokter memahami misi mulia profesi yang diembannya, tak mungkin resep yang diberikan bakal membuat pasien bertambah sakit memikirkan cara menebus deretan obat dengan harga selangit.(ADO/Tim SIGI)

From Liputan 6 SCTV 

July 26, 2006 - Posted by | Artikel Bahasa Indonesia

16 Comments »

  1. Memang saat ini moral dokter menurun, dia bermental pelacur sehingga menuliskan banyak item obat untuk mendapat dana promosi lebih besar atau bermental bajingan, dia menentukan keinginannya sebelum memakai obat yang ditawarkan. Kolusi ini juga berlangsung dengan laboratorium penunjang, disini juga ada dana kerjasama, sehingga banyak item yang diperiksakan supaya timbal baliknya besar. Kolusi-kolusi ini bukan saja dilakukan para dokter umum, tetapi juga oleh para spesialis, bahkan para profesor dan doktor di ilmu kedokteran. Bisa dibayangkan jika para pengajar sudah bermoral begini, apalagi para muridnya, kencing berlari…
    Ada baiknya dilakukan penelitian seksama terhadap hal ini, sehingga diperoleh data yang akurat, sebagai bukti. Di kala
    pemerintah mulai berfihak kepada rakyat, maka data tentang hal ini akan sangat berguna.

    Comment by Caca Kuraca | September 26, 2006

  2. Sekarang sedang ditunggu partisipasi dari pihak terkait, baik BPOM yang mengawasi dan eksekutor regulasi, Pemerintah/DPR yang membuat regulasi, dan partisipasi civil society seperti organisasi profesi (dalam hal ini ISFI dan IDI) untuk bersama membenmtuk komitmen dalam membenahi masalah obat. Dagaimanapun pekerjaan dokter khususnya dalam terapi obat harus dilakukan audit secara komprehensif.

    Salam dari Ijul Chaniago pada http://konsultan-obat.blogspot.com

    Comment by Ijul Chaniago | November 25, 2006

  3. dokter adalah pedagang yang seharusnya mengerti tentang tujuan hidupnya. entah mengapa, tapi saya benci dokter semenjak saya sadar banyak obat yang seharusnya tidak boleh dimakan oleh kakek saya diberikan oleh dokter. kemampun dokter saat ini hanya bisa menjadikan orang sebagai obyek penelitian ( binatang percobaan . metode yang digunakan cenderung hanya coba-coba.

    Comment by simon | December 7, 2006

  4. Kasihan sekali farmasis-farmasis di Indonesia… Jabatan di Badan POM diambil alih oleh profesi lain yang sebenarnya kurang oke di obat… Satu peluang saja buat njual obat, eh lagi-lagi disrobot ama profesi yang itu lagi… Trus kami para farmasis mau dikemanain, kalo pekerjaan kami diambil terus ama profesi lain… prihatin juga ama kampus yang ndiriin jurusan manajemen, dengan iklan : bisa jadi manajer di apotek. trus mau dikemanain ni apotekernya…

    Comment by yohana | December 8, 2006

  5. jangan cuma komentar doank.
    do somethings…
    cari penyebeb kenapa lahan farmasis bisa direbut oleh dokter ataupun orang periklanan.
    tingkatkan mutu farmasis agar dunia mau mengakui potensi kita…

    Comment by ayis | June 11, 2007

  6. Kenapa selalu mencampuradukkan fakta yg ada?!! Klo memang ada oknum yg seperti ini langsung di tindak dong. Jgn ngomong doang beri komentar asbun!! Masa Dokter di katakan bermental pelacur, bajingan, dll!! Obat mahal di lihat dari sudut pandang yg mana dulu?? Coba kita telaah lebih lanjut. Berapa persen dari total rupiah yg di habiskan seseorang dari pendapatannya selama setahun dibandingkan untuk pengeluaraan konsumtif lainnya. Contohnya saja untuk beli pulsa, gonta ganti hanphone, bahkan untuk beli rokok selama setahun!! 0-2 persen berbanding 15-20 persen pertahun!!! Apakah itu MAHAL?? Ada yg bertanya gimana dengan org miskin?? Dalam UUD 45 sudah jelas, bahawa fakir miskin merupakan tanggungan Negara. Jadi jangan kita langsung menuding Dokter sebagai pihak yg mesti bertanggung jawab. Klo tetap merasa mahal, JANGAN SAKIT!!! Pelihara kesehatan, olahraga teratur, makan yg bergizi dan teratur, minum air putih. MALAS melaksanakannya, ikut asuransi. Juga gak mau ikut asuransi, JGN HIDUP!!! Untuk Caca Kuraca dan Simon saya tunggu commentnya di oyasummi@yahoo.com . JANGAN ASBUN dalam memberikan komentar!!!

    Comment by Tommy Kurniawan | July 26, 2007

  7. Saya tidak setuju jika ada satu dokter yang berbuat kurang baik lalu dikatakan dokter bermental kurang, begini begitu. Saya yakin dokter yang baik masih banyak. Dan kita tidak bisa menutup mata jika lebih banyak praktisi kesehatan selain dokter yang menjual obat (baca: praktek) padahal tidak ada kewenangannya. Hal ini bukan hanya membodohi masyarakat tapi juga berbahaya. Bagaimana kalau ada kontradiksi antar obat? Bagaimana jika penderita HT tingkat 2 minum efedrin tanpa obat HTnya? Bagaimana jika seorang ibu menyusui minum antikolinergik yang menyebabkan produksi ASInya menurun?Atau penderita asma berat? Kan bahaya… Apalagi di tempat2 yang jauh dan sulit dijangkau. Apotek tidak ada. Kadang2 pasien tidak mau minum obat puskesmas. Daripada obat dijual oleh praktisi kesehatan yang kurang mengerti farmakologi obat, yah mending dijual dokterlah. Sekarang kan zaman sudah maju,informasi tentang obat/penyakit sudah banyak, mudah dicarinya.Kalau pasien lebih aware terhadap penyakitnya justru lebih bagus. Secara logika berarti kan tingkat kepatuhan pasti lebih baik kan. Jangan penderita bronkitis kronis tapi merokok jalan terus, atau naik motor tak pakai masker. Sehat itu mahal. Mencegah jauh lebih mudah daripada mengobati baik dari segi biaya maupun upaya.

    Comment by pitekun | March 23, 2008

  8. benar dokter-dokter sudah hilang hati nuraninya, salah satu contoh saya bekerja di Perusahaan farmasi saya pernah diminta dr. Delsi hidayat Sp.ob di bukittingi dengan jumlah yang besar tapi saya tak penuhi akhirnya obat saya tidak lagi dipakainya. kalau jumlah dokter di sumbar saya rasa 90% pasti udah kongkolingkong dengan perusahaan farmasi. saatnya KPK menberantas biar harga obat di indonesia bisa murah

    Comment by budi jaya | June 8, 2008

  9. kita juga nggak bisa hannya menyalahkan dokternya saja tapi kita juga harus liat dari farmasinya yang juga menyodorkan dan mengiming2x uang sekian banyak untuk seorang dokter…. dan sebenarnya perusahaan farmasilah yang mengajarkan ke pada dokternya dengan iming2x uang….. atau pelayanan serta service buat dokter…… jadi jangan cuma dokter nya saja yang di tindak tapi farmasi nya juga harus…. lagian kalo mo beri potongan beri potongan bagi pasien agar pasien bayar makin ringan…. buat apa dokter di iming2x duit padahal pendapatan dokterkan sudah cukup besar….. sudah diatas rata2x…..

    Comment by danny | June 30, 2008

  10. kalo farmasi mau menurunkan harganya dan diskon untuk dokter di berikan semua untuk pasien alangkah murahnya jadinya harga obat…. dokter itu mendapatkan uang sekitar 20-30% dari harga obat misal per tablet obat itu Rp.5000 dan dokter dari 1 tablet itu dapat Rp 1000-1500 bayangkan kalo dia pake 1000 tablet sebulan dan 10 jenis macam obat berapa yg dia dapatkan perbulan…… sekitar Rp.10.000.000 – 15.000.000 perbulan n bayangkan kalo itu dipakai untuk menurunkan harga obat perapa banyak pasien akan teringankan……

    Comment by danny | June 30, 2008

  11. kan kuliah dikedokteran mahal… 😛

    Comment by Areep | July 30, 2009

  12. Banyaknya kasus malpraktek di dunia medis akhir-akhir ini salah satunya adalan karena paramedisnya tidak professional baik dari sisi keilmuannya dan sisi mentalnya. Keilmuan, karena proses belajarnya (nilai dan ijazahnya beli pakai uang). Rekrutmen pegawainya Nepotisme dan uang sogok. Mental kerjanya orientasinya ngejar uang saja. Ini fakta di lingkungan kita dan terjadi bukan di bidang medis tetapi di hampir semua bidang.( maaf kurang relevan )

    Comment by sularmo | December 10, 2009

  13. kenapa ya semua memojokkan dokter? apalagi dengan kata- kata tidak sopan seperti tidak makan bangku sekolah.. padahal sudah seharusnya berterima kasih dengan ada nya dokter.. jgn menutup mata, bayangkan jika tidak ada dokter dan obat2an (yang memang harus melalui penelitian terlebih dahulu) ??
    jikalau hal ini terjadi, ada sebaiknya pihak farmasi pun ikut bertanggung jawab ! tak ada api maka tidak akan ada asap.. dokter berbuat seperti itu karena apa? mari kita berpikir secara bijak, jgn cuma ngomong tapi tidak berpendidikan!

    Comment by dede | January 26, 2010

  14. bukannya mau memojokan profesi dokter, tapi memang kenyataannya memang begitu. rata-rata dokter umum, spesialis melakukan kerja sama dengan pabrik farmasi, untuk melariskan OBAT ATAU ALAT KESEHATAN tertentu dari perusahan farmasi tersebut, sehingga masyarakatlah yang menjadi korban ketidak profesionalan dokter. harusnya IDI JANGAN menutup mata atas tindakan anggotanya. Lihatlah harga obat yang tinggi ditambah lagi membayar fee untuk dokter perusahan farmasi harus menaikan harga obat tersebut.secara tidak langsung sebenarnya salah satu penyebab obat mahal karena hal tersebut. YA ALLAH BERIKANLAH HIDAYAT BAGI DOKTER-DOKTER TERSEBUT SUPAYA KEMBALI KE JALAN YANG LURUS.

    Comment by rusdi | July 8, 2010

  15. gak smua dokter itu gak brhati nurani,,, mungkin ada yang seperti itu tapi masih banyak kok dokter yang justru menolong orang yang susah.. mau bukti!!!! datang aja ke LKC… he…he..he… beneran ,,, sumpah!!!!

    Comment by bhoel | July 12, 2010

  16. nice posting

    Comment by jam online | March 22, 2011


Leave a comment